ANALISIS KEBIJAKAN KEMENTERIAN KESEHATAN TENTANG RETENSI SDM KESEHATAN DI DAERAH TERPENCIL DI INDONESIA
A. Pendahuluan
Permasalahan distribusi tenaga
kesehatan masih merupakan isu yang sampai saat ini masih ada dalam sistem
kesehatan di dunia, tidak terkecuali Indonesia. Indonesia yang merupakan negara
kepulauan terdiri dari pulau-pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.
Terutama pulau-pulau terluar dan daerah-daerah terpencil serta daerah
perbatasan yang menjadi perhatian pemerintah pusat karena memiliki keterbatasan
– keterbasan dibandingkan dengan daerah – daerah lain di Indonesia. Memiliki
ciri geografis yang khusus antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya
dan keadaan sosial ekonomi yang masih menunjukkan perbedaan yang sangat tinggi.
Bersamaan dengan kondisi tersebut desentralisasi belum mampu menunjukkan hasil
yang diharapkan terutama dalam menyelesaikan permasalahan pemerataan tenaga kesehatan.
Kurangnya minat tenaga kesehatan
untuk bekerja di daerah terpencil mempunyai andil yang cukup besar terhadap semakin
rumitnya permasalahan berkaitan dengan pemerataan tenaga kesehatan di
Indonesia. Namun demikian hal tersebut tidak sepenuhnya dipersalahkan. Pemerintah
pusat dan pemerintah daerah harus dapat melihat permasalahan tersebut secara komprehensif.
Pemerintah harus dapat menjawab pertanyaan mengapa daerah terpencil tidak
diminati oleh tenaga kesehatan? Seberapa besar usaha yang telah dilakukan oleh
pemerintah daerah dalam mendukung upaya peningkatan derajat kesehatan
masyarakat. Pendekatan yang dilakukan dalam upaya pemerataan tenaga kesehatan
selama ini masih berorientasi kepada materi
semata. Dengan beranggapan bahwa dengan gaji dan insentif yang tinggi
permasalahan kekurangan tenaga kesehatan di daerah terpencil akan selesai. Upaya
untuk mengatasi permasalahan pemerataan tenaga kesehatan di daerah terpencil tidak
semata-mata terfokus kepada manusianya saja akan tetapi harus dibarengi dengan
upaya untuk membangun sarana dan prasarana yang menunjang. Salah satu hal
penting yang merupakan kendala di daerah terpencil adalah ‘akses’. Tanpa adanya
akses tenaga kesehatan akan kesulitan mendapatkan informasi. Kebutuhan akan
akses mutlak diperlukan. Akses dapat berupa akses fisik seperti transportasi,
sarana jalan yang memadai yang berguna sebagai sarana yang membantu pada saat
akan merujuk pasien ke tingkat pelayanan yang lebih tinggi. Akses lain yang
tidak kalah pentingnya adalah kebutuhan akses akan informasi terbaru baik
tentang perkembangan ilmu pengetahuan maupun tentang perkembangan informasi
global. Kebutuhan akan sarana dan prasarana ini tidak akan mampu ditanggani
sendiri oleh Kementerian Kesehatan. Pemerintah pusat perlu mendorong
pembangunan di daerah agar anggaran yang telah dikeluarkan untuk membiayai
program pemerataan tenaga kesehatan di daerah terpencil tidak sia-sia.
Disadari atau tidak Kementerian
Kesehatan bukanlah kementerian “super power” yang dapat dengan leluasa bergerak
di daerah. Oleh sebab itu tidak bisa berjalan sendiri dengan hanya mengandalkan
peraturan menteri atau keputusan menteri semata. Dalam hal ini Kementerian
Kesehatan perlu menggandeng Kementerian Dalam Negeri dalam mensosialisakan
untuk suksesnya suatu kebijakan yang akan diterapkan di daerah. Perlunya
pendampingan ke berbagai daerah terhadap kebijakan yang telah digulirkan untuk
mendapatkan prioritas dalam pembangunan daerah. Kaitannya dengan peran otonomi
daerah perlu juga ditinjau kembali PP nomor 38 Tahun 2007 Bidang Kesehatan,
karena dalam peraturan tersebut belum secara tegas dan terperinci mengatur
peran pemerintah provinsi/kabupaten/kota khususnya dalam manajemen sdm
kesehatan. Dengan demikian diharapkan pemerintah daerah dapat dengan “leluasa”
mengatur dan berinovasi menentukan arah dan nasib tenaga kesehatan di
wilayahnya.
Upaya melibatkan stake holder setempat sudah semestinya dilakukan mulai dari proses perencanaan
sampai dengan evaluasi . Perlunya kemitraan (partnership)
untuk melakukan analisis situasi daerah setempat untuk mendapatkan keadaan
daerah secara akurat dan sesuai dengan kondisi realita yang ada. Diiharapkan
dapat menampung seluruh masukkan yang menggambarkan kebutuhan tiap-tiap daerah serta
dapat mengakomodasi permasalahan yang ada sesuai dengan latar belakang sosial
ekonomi dan kondisi geografis. Nantinya intervensi kebijakannya pun disesuaikan
dengan permasalahan tiap-tiap daerah, tidak digeneralisir antar satu daerah
dengan daerah yang lain. Sebagai contoh pembiayaan yang ada di daerah Timur
Indonesia akan sangat berbeda dibandingkan di Sumatera. Juga di Kalimantan akan
berbeda dengan daerah Sulawesi. Peran daerah dalam peraturan menteri kesehatan tentang
perencanaan tenaga kesehatan hanya sebatas penghitungan kebutuhan jumlah tenaga
kesehatan. Penghitungan jumlah kebutuhan tenaga yang digunakan tersebut
berdasarkan ratio tenaga kesehan terhadap jumlah penduduk di satu wilayah.
Penghitungan berdasarkan ratio akan sangat cocok apabila digunakan pada daerah
dengan penduduk dengan penyebaran yang ideal. Artinya antara jumlah penduduk
dengan luas wilayah tidak terlalu jarang. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah
penghitungan berdasarkan ratio dapat diterapkan di semua wilayah Indonesia?
Apakah penghitungan berdasarkan ratio yang ideal di suatu wilayah dapat
dipastikan bahwa coverage pelayanan
kesehatan masyarakat terpencil sudah terjangkau?
B. Rumusan Permasalahan
Atas dasar beberapa hal yang telah
dipaparkan di atas maka penulis bermaksud mengangkat permasalahan-permasalahan
yang mungkin dapat dipertimbangkan sebagai bahan masukan dalam rangka melihat
kembali kebijakan yang sedang berjalan untuk perbaikan ke depan.
C. Tujuan
Tujuan
penulisan analisis kebijakan ini adalah :
1. Memberikan masukan kebijakan dan
rekomendasi yang menyangkut implementasi kebijakan terkait dengan retensi SDM
Kesehatan di daerah
terpencil, perbatasan, dan kepulauan.
2. Menyampaikan usulan beberapa opsi
kebijakan, penyempurnaan instrumen kebijakan serta kebutuhan studi kebijakan
dalam rangka penyelesaian masalah/isu kebijakan terkait dengan retensi SDM
Kesehatan di daerah
terpencil, perbatasan, dan kepulauan.
D. Mengapa Analisis Situasi penting dalam konteks Kebijakan?
Kebijakan distribusi tenaga kesehatan
di Indonesia telah masuk dalam agenda Program 100 hari Tahun 2009 Kementerian
Kesehatan. Kebijakan tersebut tertuang dalam permenkes/kepmenkes yang merupakan awal dicanangkannya
program tentang pemberian insentif tenaga kesehatan strategis
di Daerah Terpencil,
Perbatasan, dan Kepulauan (DTPK). Program tersebut merupakan salah satu program yang
mendapatkan prioritas. Kementerian Kesehatan mewujudkan program yang telah
dicanangkan oleh pemerintah yang bertujuan mengatasi permasalahan pemerataan
tenaga kesehatan di daerah terpencil dengan harapan tenaga kesehatan bisa
bertahan lebih lama di daerah terpencil sehingga dapat memberikan pelayanan
kesehatan dasar, promosi kesehatan kepada masyarakat secara berkesinambungan. Kebijakan
tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1235/MENKES/SK/XII/2007 Tentang Pemberian Insentif Bagi Sumber Daya Manusia
Kesehatan yang Melaksanakan Penugasan Khusus dan Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia NOMOR 156/Menkes/SK/I/2010 Tentang Pemberian Insentif Bagi
Tenaga Kesehatan Dalam Rangka Penugasan Khusus Di Puskesmas Daerah Terpencil,
Perbatasan Dan Kepulauan. Keputusan menteri tersebut merupakan langkah awal pemerintah
pusat dalam rangka memberikan reward dan insentif kepada tenaga kesehatan yang
bekerja di daerah terpencil. Diharapkan mereka dapat bekerja dengan penuh
semangat dan mampu melayani masyarakat dengan optimal.
Keputusan menteri tersebut pada
akhirnya diharapkan mampu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, oleh
karenanya ia harus merupakan hasil masukan dari berbagai pihak dan dalam rangka
menghindari asumsi dari masyarakat dan pelaku di bidang kesehatan bahwa
keputusan menteri tersebut adalah sebuah kebijakan yang instan yang berorientasi
pada pencapaian tujuan yang sesaat, yang dikhawatirkan akan memiliki dampak
negatif terhadap keuangan negara. Kekhawatiran akan sebuah program yang sarat
muatan politis dan hanya merupakan sebuah proyek mercu suar belaka untuk tujuan
elektabilitas dan popularitas yang seakan-akan berpihak pada kepentingan
masyarakat umum, akan tidak begitu terlihat manakala kebijakan tersebut
benar-benar direncanakan dengan baik. Pola penerapan kebijakan yang bersifat top down masih sangat terlihat pada
keputusan menteri tersebut. Peran daerah tidak cukup diberi kebebasan dalam
menentukan cara dan metode sesuai dengan situasi dan masalah yang dihadapi
masing-masing daerah. Daerah tidak mempunyai cukup pedoman dalam melakukan inovasi-inovasi
tersebut karena dikondisikan untuk tidak dapat melakukan inovasi-inovasi untuk
mengatasi permasalahan tenaga kesehatan dengan cara mereka sendiri. Hal ini
dapat dilihat di sebagian besar daerah masih mengandalkan pemerintah pusat
dalam hal pendanaan maupun ide – ide untuk kemajuan di bidang kesehatan. Dinas
kesehatan idealnya membuat petunjuk teknis tentang pengaturan tenaga kesehatan
sesuai dengan kondisi daerahnya berupa petunjuk teknis atau standar operasional
prosedur (SOP), namun kenyataannya peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah
pusat tidak ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya petunjuk teknis atau
peraturan kepala dinas setempat akibatnya timbul penafsiran yang beragam dalam
pelaksanaannya di lapangan. Hal ini terjadi karena dalam peraturan yang ada hal
– hal seperti telah disebutkan sebelumnya tidak dijelaskan secara terperinci.
Anggaran untuk pemberian insentif bagi
tenaga kesehatan di daerah terpencil dibiayai dari dana APBN dan APBD. Pembagian
besaran dana yang dialokasikan dari APBN dan APBD untuk pembiayaan ini tidak
diterangkan secara eksplisit dalam peraturan ini. Sehingga tidak secara jelas
berapa persen dana dari APBN dan berapa persen dana dari APBD untuk tiap – tiap
daerah. Ketentuan tentang besaran APBD tiap - tiap daerah menentukan
keberhasilan program pemerataan tenaga kesehatan di daerah terpencil. Sehingga
pemerintah dapat mendorong pemerintah daerah dengan PAD yang besar akan
mengalokasikan dalam APBDnya untuk sektor kesehatan.
Penambahanan peran daerah dalam membuat
SOP atau juknis yang ada harus lebih ditingkatkan mulai proses perencanaan
sampai dengan evaluasi dan monitoring tingkat daerah. Penguatan peran
monitoring dan evaluasi di tingkat daerah sangat berdampak pada keberhasilan
program secara nasional. Monitoring yang selama ini dilakukan sangat
mengandalkan laporan yang bersifat kuantitatif. Sehingga mempunyai kesan bahwa
monitoring berjalan merupakan pekerjaan rutinitas.
Kesulitan dalam hal monitoring maupun
koordinasi dapat dikurangi apabila penugasan khusus tenaga kesehatan di daerah
terpencil dilakukan secara ‘team work’.
Apabila penugasan khusus dilakukan secara tim memudahkan dalam koordinasi dan
keberlangsungan tenaga kesehatan yang bertugas melayani masyarakat di fasilitas
kesehatan. Seorang koordinasi tim yang akan mengatur jadwal tiap-tiap anggota
tim yang lain. Sebuah tim penugasan khusus mempunyai kewenangan penuh dalam
melakukan pelayanan terhadap masyarakat karena sudah dibekali dan berdasarkan
standar pelayanan yang jelas dan baik. Permen/Kepmen yang ada masih didominasi
struktur organisasi birokrasi, dengan prosedur yang panjang dan rumit. Dengan
situasi dan kondisi di lapangan yang sangat dinamis perlu pertimbangkan sebuah
sistem dengan struktur organisasi adhocracy,
artinya bahwa sebuah pelayanan kesehatan di suatu daerah terpencil dijalankan
melalui penugasan secara tim (bukan individu) untuk mengakomodasi kebutuhan
pelayanan kesehatan yang berkelanjutan dan rotasi tenaga kesehatan yang
bertugas dalam rangka refreshing dan
mengurangi kejenuhan.
Leading sector dalam
hal ini adalah Badan Perencanaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kesehatan
Kementerian Kesehatan perlu merangkul lebih stake
holder dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan juga
universitas-universitas yang mencetak tenaga kesehatan/kedokteran untuk menyiapkan
kurikulum yang berbasis kompetensi di daerah terpencil untuk memperkenalkan
bidang kerja yang mungkin dihadapi oleh peserta didik nantinya. Kebijakan
rekrutmen tenaga kesehatan dapat dimulai sejak seleksi masuk perguruan tinggi
terhadap calon peserta didik yang harus memperhatikan daerah asal terutama dari
daerah-daerah yang masih membutuhkan tenaga kesehatan khususnya dokter selanjutnya
diarahkan bisa mengabdi di daerahnya berasal.
Dalam rangka mempromosikan agar daerah
terpencil lebih diminati dan mendapat sambutan yang baik dari masyarkat perlu
sekiranya pemerintah pusat ataupun daerah memberikan penghargaan kepada “tenaga
kesehatan daerah terpencil teladan” pada
even-even tingkat daerah maupun nasional, sehingga dapat memacu tenaga
kesehatan yang lain untuk bekerja dengan baik.
Ada beberapa hal yang menjadi dasar
untuk bahan perbaikan kebijakan khususnya tentang pemerataan tenaga dokter di
daerah terpencil. Kebijakan mengenai dokter tidak tetap yang bekerja dalam
jangka yang pendek tidak sejalan dengan program yang dikembangkan oleh asosiasi
profesi, terutama yang berkaitan dengan continuing professional development
(CPD). Dari sisi kesempatan kerja, keberadaan tenaga kesehatan dalam jangka
yang pendek tidak memungkinkan mereka untuk mendapatkan kesempatan untuk
bekerja secara efektif. Keanggotaan dalam asosiasi profesi juga memiliki limit
waktu tertentu, sehingga jika kontrak kerja tidak sesuai dengan limit waktu
tersebut, maka, tenaga kesehatan yang ditempatkan tidak dapat menjadi anggota
asosiasi profesi daerah. Bagi asosiasi rumah sakit, kontinyuitas pelayanan
adalah kunci sukses dalam pengembangan rumah sakit. Namun demikian,
kontinyuitas akan mendapat tantangan jika tenaga kesehatan tidak dijamin
keberadaannya di satu rumah sakit. Terlebih jika keberadaan tenaga kesehatan
hanya dalam kurun waktu yang sangat pendek dan tidak ada fase over-lapping dengan
penggantinya, maka kontinyuitas pelayanan menjadi tidak terjamin sama sekali.
Bagi regulator, dalam hal ini Dinas Kesehatan, keberadaan dokter dalam jangka
pendek dapat menyulitkan pendataan dan pengelolaan tenaga serta terjaminnya
kontinyuitas pasokan tenaga kesehatan.
E. Rekomendasi
Untuk
menyempurnakan penerapan kebijakan retensi tenaga kesehatan di DTPK, terdapat
beberapa masukan tentang kebijakan retensi sdm kesehatan antara lain:
1. Peningkatan
Koordinasi antara Kementerian Kesehatan, Propinsi dan Kabupaten tentang Standar
Pelayanan Kesehatan di DTPK
Dalam penyelenggaraan pelayanan
kesehatan di DTPK diperlukan kebijakan tentang standar pelayanan kesehatan yang
spesifik untuk DTPK yang didukung oleh standar sarana dan prasarana dengan
mempertimbangkan kondisi geografis wilayah. Hal lain yang perlu dipertimbangkan
adalah kondisi geografis yang memiliki perbatasan dengan negara tetangga.
Penekanan daerah agar lebih berperan dalam konteks otonomi daerah sebagai kelengkapan
pelaksanaan PP 38 tahun 2007 (Bidang Kesehatan). Diperlukan kebijakan tentang
standar kompetensi spesifik bagi tenaga kesehatan yang dibutuhkan di DTPK,
standar ini harus disusun berdasarkan kebijakan tentang standar pelayanan
kesehatan spesifik dan standar tenaga kesehatan strategis di DTPK.
2. Pola
Rekrutmen dan Orientasi Tenaga Kesehatan di DTPK
Diperlukan penyempurnaan kebijakan
rekrutmen tenaga kesehatan yang ada saat ini sehingga mampu mengikat tenaga
kesehatan yang baru lulus secara sukarela untuk ditempatkan di DTPK. Kebijakan
rekrutmen yang baru ini harus mencakup persetujuan sukarela untuk ditempatkan
di DTPK dengan menggunakan strategi sejak pertengahan masa pendidikan dan pada
saat baru lulus. Untuk pelaksanaannya diperlukan kebijakan tentang standar
insentif yang dikaitkan dengan kesediaannya mengikatkan diri untuk jangka waktu
tertentu. Di samping itu pemenuhan kompetensi dapat juga diperoleh melalui
pelatihan untuk tenaga kesehatan yang sudah ditempatkan. Untuk itu diperlukan
kebijakan pelatihan spesifik bagi tenaga kesehatan di DTPK.
3. Pemenuhan
Kurikulum Berbasis Kompetensi Tenaga Kesehatan DTPK
Kebijakan tentang standar kurikulum
berbasis kompetensi spesifik bagi tenaga kesehatan di DTPK kepada institusi
yang bertanggung jawab terhadap pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan
melalui kerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Identifikasi
terhadap kebutuhan muatan tambahan dalam kurikulum pendidikan formal tenaga
kesehatan. Muatan tambahan kurikulum tersebut akan memberikan kontribusi
positif dalam memproduksi lulusan yang memiliki kompetensi yang spesifik untuk
memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di DTPK.
4. Penguatan
Manajemen SDM Kesehatan DTPK di Daerah
Perlu disosialisasikan kembali secara
intensif kebijakan tentang pedoman perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan di DTPK
yang spesifik yang tercantum dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor : 81/Menkes/Sk/I/2004 Tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan
Sumber Daya Manusia Kesehatan Di Tingkat Propinsi, Kabupaten/Kota Serta Rumah Sakit, yang mencakup jenis, jumlah maupun
keterampilan yang dibutuhkan dalam bentuk paket (skill mixed) dengan mempertimbangkan permasalahan geografi, spasial
dan densitas tenaga kesehatan per wilayah.
Kebijakan pemenuhan tenaga kesehatan
di DTPK juga melalui strategi penempatan kembali tenaga kesehatan yang sudah
ada/PNS dengan mempertimbangkan prosedur, insentif (termasuk insentif non
finansial) dan pemberian kompensasi yang menarik seperti kenaikan pangkat
istimewa.
5. Jaminan
Pengembangan Karir dan Profesi Pasca Penugasan di DTPK.
Untuk
memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan di DTPK,
diperlukan kebijakan yang menjamin kejelasan pengembangan karir dan
profesi pasca penugasan di DTPK yang dikaitkan dengan lama masa penugasan yang
bersangkutan. Kebijakan tersebut harus mencakup kejelasan jaminan untuk menjadi
PNS, dan jaminan kesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi.
Untuk
menjamin kesempatan melanjutkan pendidikan harus disediakan fasilitas khusus
untuk menyesuaikan kemampuan dan pengetahuan akademiknya guna memasuki jenjang
pendidikan berikutnya. Strategi
kebijakan tersebut harus menegaskan tentang fasilitas khusus dalam skenario
yang atraktif bagi tenaga kesehatan di DTPK.
6. Studi
Kebijakan
a.
Studi
kebijakan untuk menentukan standar tenaga kesehatan spesifik DTPK, dengan
memperhatikan kondisi geografis dan topografis wilayah.
b.
Dilakukan
studi kebijakan tentang kelayakan pemberian insentif, kompensasi dan dukungan
fasilitas lainnya untuk penempatan dan pasca penugasan bagi tenaga kesehatan di
DTPK.